Sabtu, 29 Agustus 2020

Berhati-Hati Memilih Perumahan Syariah (Bagian 2)

Sebelum melanjutkan, saya ingin menjelaskan bahwa post ini adalah lanjutan dari postingan saya sebelumnya. Singkat cerita saya telah salah membeli perumahan berkedok syariah pada salah satu developer berinisial GTI. Namun dalam praktik pembangunannya ada banyak kejanggalan.

Saya hendak membatalkan perjanjian jual/beli pembangunan rumah saya dengan developer GTI. Di pasal-pasal dalam AJB (Akad Jual Beli) yang saya pelajari mengenai pembatalan akad, bilamana akad dibatalkan oleh pihak pembeli sebelum waktu STU (Serah Terima Unit) maka uang saya akan dipotong sebanyak 10% dari harga cash rumah. Saya yang merasa dirugikan baik biaya dan waktu tentu saja menolak hal tersebut. Karena wanprestasi yang terjadi di lapangan adalah murni kelalaian GTI. Karena pembangunan yang molor tidak dikarenakan kelangkaan material atau adanya force majeur seperti bencana alam atau semacamnya, melainkan karena GTI sendiri belum memenuhi persyaratan dan perizinan untuk membangun perumahan di lokasi tersebut.

Adapun persyaratan tersebut diantaranya adalah harus sudah memiliki Izin Mendirikan Bangunan Induk atau biasa disebut sebagai IMB Induk, juga harus sudah memiliki kejelasan mengenai status kepemilikan tanah. Namun mereka tetap bersih keras tidak mau mengembalikan uang saya secara penuh dan pada akhirnya saya dikenai potongan sebesar 10% harga cash rumah yang mana nominalnya tidak sedikit. Dalam proses pembatalan tersebut saya GTI meminta tenggang waktu selama 90 hari kerja untuk mencairkan uang saya.

Selama masa menunggu, saya banyak mencari dan mengumpulkan informasi dari sesama pembeli proyek GTI yang lain. Dan saya juga sampai membuat group berisi sesama pembeli proyek perumahan Sukorejo. Saya bahkan juga bergabung di group pembeli perumahan Juanda juga. Disana saya banyak bertemu teman-teman lain yang juga membatalkan pembelian rumahnya di GTI. Ada sebagian dari mereka yang membatalkan lebih dulu dari saya dan juga dijanjikan uangnya akan cair dalam 90 hari kerja. Namun banyak dari mereka yang pencairan uangnya mundur dari tanggal jatuh tempo bahkan ada yang sampai dimundurkan selama 3 bulan, dan ada pula yang pencairannya disetujui dalam 360 hari (hampir satu tahun). Alasan yang dipakai GTI adalah karena cash flow mereka sedang sulit sebab terdampak pandemi Covid, sehingga marketing mereka tidak banyak mendapatkan pembeli baru. 

Dalam group tersebut setidaknya ada 2 golongan pembeli, dimana golongan yang satu adalah pembeli yang berniat untuk lanjut dan mendesak GTI untuk membangun rumah mereka sampai jadi. Dan golongan lain adalah pembeli yang membatalkan pembelian dan mendesak GTI untuk segera mengembalikan semua uang yang sudah mereka bayarkan (baik yang mencicil maupun yang bayar lunas). Di dalam group tersebut kami sering berbagi informasi dan saling membantu menyebarkan informasi tersebut. Kami bahkan mengumpulkan sebanyak mungkin pembeli dalam group tersebut. Salah satu informasi menarik adalah pada pertengahan april, Direktur Utama sekaligus pemilik GTI pernah menjual sebuah villa di Jawa Barat senilai lebih dari 10M, dengan alasan dijual untuk menolong bisnis yang sedang terkena dampak pandemi. Dia mengiklankan penjualan tesebut di media sosial Facebook. Saya sendiri tidak tau bisnis apa yang dia maksud dengan terkena dampak pandemi ini.

Singkat cerita tepat pada tanggal jatuh tempo 90 hari kerja, uang saya masih belum juga dicairkan. Menurut pembeli-pembeli lain yang dulu pernah melakukan pembatalan, nantinya uang kita akan langsung ditransfer ke rekening dan pihak GTI akan memberikan informasi ke nomor kita kalau sudah ditransfer. Namun hari itu tidak ada kabar sama sekali dari GTI dan saya hubungi pun tidak ada tanggapan. Akhirnya 2 hari setelah tanggal jatuh tempo saya mendatangi kantor GTI di daerah deltasari sidoarjo. Disana saya disambut hangat oleh satpam yang menanyakan keperluan saya. Berbeda dengan terakhir kali saya kesana, dulu tidak ada satpam penjaga di kantor GTI dan sekarang selain diberi petugas keamanan, ruang tunggu yang dulu ada di dalam sekarang dipindah di luar ruangan. Sehingga di dalam ruangan tersebut hanya ada satu atau dua pembeli/customer untuk masing-masing CS. Setelah pak satpam mengerti keperluan saya, bapak tersebut meminta berkas pembatalan saya yang mana terdapat tanggal jatuh tempo di berkas tersebut. Kemudian saya diminta menunggu di ruangan depan tepat disebelah meja satpam. Tak lama kemudian salah seorang pegawai perempuan yang bertugas menyelesaikan urusan pembatalan muncul di depan saya. Mbak Reni namanya (nama ini hanya inisial). Ini pertama kali saya bertemu dengan mbak Reni namun sebenarnya saya sudah tau wajah mbak Reni ini dari jauh-jauh hari karena saya sempat mencari-cari akun pegawai GTI melalui friendlist akun instagram GTI.

Dalam perbincangan yang memakan waktu kurang lebih selama 20 menit di ruangan tersebut. Inti pembicaraan bersama mbak Reni adalah dia meminta tenggang waktu tambahan selama 3 bulan untuk melunasi uang saya. Saya tentu menolak karena selain sudah dirugikan secara materi dan waktu, GTI juga sudah melakukan pelanggaran-pelanggaran pada cara berjualannya. Disitu saya mulai mengeluarkan pasal-pasal pelanggaran yang dilakukan GTI pada UU no.1 Perumahan. Dimana setidaknya GTI sudah menabrak 3 pasal pelanggaran dalam berjualan. Pasal-pasal tersebut diantaranya adalah pasal 42 yang berisi bahwa lembaga yang menjual perumahan yang masih dalam tahap pembangunan harus sudah memiliki kepastian atas status kepemilikan tanah, IMB Induk, dan keterbangunan minimal 20%. Ada pula pasal 45 yang berisi bilamana belum memenuhi persyaratan dalam pasal 42 maka dilarang menarik uang dari pembeli lebih dari 80%, sedangkan GTI sendiri sudah berani menjual proyek perumahannya dengan skema cash bahkan sebelum melunasi tanah dan belum mempunyai IMB Induk. Disamping itu juga ada pasal 137 yang berisi bahwasanya dilarang menjual rumah yang belum menyelesaikan status hak tanahnya.

Disana saya berusaha melobi agar pencairan uang saya diutamakan daripada pembeli lain, karena sebenarnya ada banyak pembeli lain yang juga membatalkan perumahannya dan sudah jatuh tempo namun dimundurkan tanggal jatuh temponya. Saya mengatakan bahwasanya maksud saya datang adalah untuk melobi agar pencairan saya dapat didahulukan dari pembeli lain, namun bila tidak saya akan menempuh jalur hukum dengan membawa pasal-pasal pelanggaran yang dilakukan GTI tersebut. Dibandingkan melobi sebenarnya saya lebih seperti mengancam. Dan tidak lama setelah itu mbak Reni ini mengusulkan untuk mencairkan uang saya penuh dalam waktu 1 bulan dan dicicil 3x. Hari itu juga uang saya dibayar 1/3 nya, dan dijanjikan 2/3 sisanya akan dibayarkan pada pertengahan dan akhir bulan depan. Saya setuju dengan hal tersebut, namun saya meminta surat perjanjian baru untuk berjaga-jaga kalau mereka tidak tepat waktu saya dapat menempuh jalur hukum. Akhirnya mbak Reni membuatkan surat perjanjian pencairan dana yang mana surat tersebut ditanda tangani langsung oleh Direktur Utama sekaligus pemilik GTI yang nama inisialnya "DH".

Disamping itu, ada juga beberapa pembeli yang berkelompok untuk menyewa pengacara untuk mendesak GTI agar uang pembatalannya dapat dipercepat. Dan yang saya tau ternyata pasal-pasal pelanggaran yang dipakai oleh pengacara tersebut kurang lebih sama dengan pasal-pasal yang saya gunakan. Alhamdulillah kelompok pembeli tersebut akhirnya juga mendapat proiritas pengembalian selama satu bulan (yang awalnya 3 bulan dan ada yang sampai 1 tahun).

Pelajaran yang saya ambil dari sini adalah sebaiknya kita berhati-hati dalam membeli perumahan syariah atau perumahan denga label syariah. Dalam kasus saya ini developer perumahan syariah yang bertanggung jawab membangun perumahan banyak menabrak peraturan perundang-undangan dan tidak memiliki manajemen yang transparan. Dan mereka juga seenak sendiri memutuskan besar potongan uang bilamana melakukan pembatalan. Sedangkan mereka sendiri lebih banyak melakukan kesalahan dengan tidak menjalankan progress pembangunan dan tidak menyelesaikan pembangunan rumah tepat waktu. Terlebih lagi mereka sangat membanggakan label syariah mereka di setiap iklan yang mereka pasang dan publikasikan. Padahal justru praktik mereka ini yang membuat nama Perumahan Syariah menjadi rusak. 

Sistem yang diterapkan GTI ini seperti gali lubang-tutup lubang. Mereka membeli petak tanah di lokasi A tidak sampai lunas, kemudian mereka sudah berani menjual proyek Perumahan A pada pembeli, yang mana siteplan perumahannya meliputi tanah yang bahkan belum mereka lunasi. Kemudian uang dari pelanggan proyek Perumahan A yang sudah masuk, digunakan untuk membeli petak tanah di lokasi B dan itupun juga tidak sampai dilunasi, lalu mereka melakukan hal yang sama dengan menjual proyek perumahan B pada pelanggan yang siteplannya juga meliputi tanah yang bahkan belum mereka beli/lunasi. Pada akhirnya saat Perumahan A sudah memiliki ijin bangun, uang pelanggan perumahan B juga akan dipakai untuk membangun perumahan A yang membuat perumahan B telat dibangun dan bahkan dana untuk membangunnya bisa jadi berkurang. Akhirnya mereka membeli lagi petak tanah di lokasi C (tidak dibeli sampai lunas juga) dan kemudian menjual proyek Perumahan C ke pelanggan yang mana nantinya uang perumahan C tersebut bisa jadi untuk menutup kekurangan uang pembangunan perumahan B bahkan juga untuk membantu pembangunan perumahan A, begitu seterusnya sampai ke perumahan Z. 

Sampai saat ini, kurang lebih ada 6 sampai 7 proyek perumahan yang sedang di garap oleh GTI, dan yang masih berjalan proses pembangunannya hanyalah 1 proyek yaitu perumahan Juanda yang berada di daerah Sedati, proyek yang lain progress pembangunannya masih nol besar. Untuk itu yang sangat gencar mereka lakukan adalah pemasaran perumahannya. Meskipun belum punya ijin yang jelas, dan bahkan tanah yang belum dilunasi, pemasaran GTI benar-benar menjadi garda terdepan untuk menggaet pelanggan. Mereka selalu mengadakan gathering hampir setiap minggu di sebuah hotel, menjelaskan apa itu syariah, dan memasarkan perumahan-perumahannya. Mereka bahkan memberi tips yang sangat tinggi untuk marketing-marketingnya. Ada yang bahkan sampai mendapat 1 unit rumah di salah satu perumahan yang mereka bangun, ada pula yang sampai memenangkan hadiah umroh dari GTI, bahkan sampai ada yang mendapatkan total tips sampai ratusan juta. Pertanyaan saya, uang dari mana yang digelontorkan sebanyak itu untuk merketing-marketing itu kalau bukan uang pelanggan yang seharusnya dipakai untuk membangun perumahan mereka???

Namun hal ini bukan berarti bahwa developer syariah diluar sana semuanya tidak bertanggung jawab atau tidak taat hukum. Ada banyak developer property syariah yang masih taat hukum dan memiliki ijin-ijin bangun yang jelas. Bahkan ada pula yang saat memasarkan perumahannya mereka berani menunjukkan salinan perijinan yang mereka miliki, juga menunjukkan timeplan pembangunan mereka.

Sebelum saya tutup, saya ingin berbagi. Undang-undang pemukiman yang saya gunakan saya ambil dari link ini. Bila link tersebut mati, lampirkan email di kolom komentar nanti akan saya kirim draftnya.  Bagi teman-teman yang sudah terlanjut terjebak dengan GTI dan kebetulan tersangkut pada postingan saya ini. Saya berharap teman-teman dapat diberi kelancaran dalam urusan-urusan dengan GTI. Tetap ikhtiarkan yang seharusnya menjadi hak teman-teman.


Salam 🙏🏻

0 comments:

Posting Komentar